Header Ads

Kristal Ultraman (Tulisanku)

Kristal Ultraman (Tulisanku)


      Suara tepuk tangan menggema di sebuah sekolah tinggi perikanan. Semua calon mahasiswa dan para kakak pendampingnya bahkan tak terkeculai para dosen dan orangtua calon mahasiswa semuanya bertepuk tangan. Mereka bertepuk tangan untukku, mereka tertawa untukku, mereka berusaha menghancurkan tanggul di mataku yang sudah mulai keropos dan hampir hancur.

    “Ayo semangat!”, “Ayo terus kamu pasti bisa”, “Oi ambilin minum cepetan”, “aflkjasldkfjasdif...”. Ingin sekali aku teriak “Bulshit...!!!” Sekeras-kerasnya tapi aku tak bisa. Boro-boro untuk teriak untuk mengambil nafas saja susahnya bukan main.

       Banyak sekali orang yang tertawa dan berbicara di sekelilingku, beberapa terlihat menahan ketawa dan mencoba membantuku. Aku hanya bisa membalas senyum sambil mencoba mengambil nafas. Tes lari maraton 5 km benar-benar menghancurkanku. Aku malu sekali di saat yang lain sudah beristirahat aku masih sibuk dengan langkah kakiku yang rasanya sudah tak sanggup lagi berjalan.

         Peluhku bercucuran dan digantikan oleh rasa malu yang tak bisa di bayangkan lagi. Rasa sakitnya bertampah parah setiap detiknya layaknya orang kecepirit tapi ini letaknya di atas kepala. Aku terus berjuang bukan karena aku ingin di terima masuk di sekolah tinggi itu melainkan karena pikiranku sudah mulai kosong karena rasa sakitnya. Tubuhku bergerak sendiri tanpa ku perintah hingga akhirnya sampai ke garis finish.

         Tak beberapa lama setelahku sampai ke garis finish upacara penutupan tes di mulai. Tanpa di beritahupun aku sudah tahu bahwa upacara di tunda 20 menit karena lari ku. Dengan hati yang hancur dan raga yang lelah aku mengikuti upacara dan pulang ke rumah.

         Sampai di rumah aku langsung di suguhkan dengan segudang pertanyaan dari ibuku tentang tes tadi. Entah kenapa mulutku berbicara dengan senderinya. Bukan berbicara tentang kebenaran tapi ia berbicara tentang kebohongan. Aku berkata “tes tadi baik-baik saja mungkin aku bisa lulus”. Memang menyakitkan berbohong, apa lagi berbohong pada ibu sendiri. Namun, apa boleh buat aku hanya mengharapkan senyum dari wajah ibuku yang memberiku sedikit kesejukan.

       Selang beberapa hari aku mencari namaku di sebuah situs yang berisikan hasil tes sekolah tinggi kemarin dan alhasil tidak ada namaku disana. Aku tidak kecewa karena aku tahu pasti akan gagal. Ibuku mencoba menelpon sana-sini, sudah bisa di tebak ibuku menelpon dosen-dosen yang ada di sekolah tinggi itu. “Kok nama anak saya tidak ada? Kan sudah saya titipkan gimanasih?” Perilaku ibuku yang memperjuangkanku untuk masuk ke sana tidak sedikitpun membuatku senang.

      Perjuangan ibuku membuatku semakin terpuruk dan terjatuh lebih dalam lagi. Aku merasa ibuku sendiri tidak percaya akan ke mampuanku. Ya walaupun aku sudah tau pasti akan gagal tapi setidaknya aku ingin ibuku mencoba menyemangatiku bukan protes kesana kemari.

         Aku tidak menyalahkan siapapun untuk kenangan yang ku terima. Karena memang itu murni kesalahanku. Bukan karena aku yang tidak lulus tes tapi karena aku yang tidak bisa menentukan masa depanku sendiri. Disaat teman-temanku sibuk dengan impiannya, aku masih terdiam memikirkan apa impianku sebenarnya. Apa yang salah denganku apakah aku bodoh atau gila? Nilaiku di atas rata-rata tapi kenapa bahkan untuk sebuah impian saja aku tak bisa mendapatkannya.

       Tanpa impian waktu berlalu begitu saja, tanpa ku sadari waktu 2 tahunku di sebuah universitas yang tak ku inginkan terbuang sia-sia. Sangat terlambat jalan yang di tunjukkan tuhan untukku. Setelah sekian lama impianku baru datang di saat yang benar-benar tidak tepat.

       Bayangkan saja aku harus masuk kuliah di waktu yang bersamaan dengan adikku. Sebagai seorang kakak harga diriku sudah tidak dapat di pertanyakan lagi. Tidak cukup di situ sebagai temanpun aku sudah tidak punya harga diri lagi. Saat penerimaan mahasiswa baru aku di bimbing oleh seorang kakak pendamping yang ternyata adalah teman baikku. Ia selalu tersenyum dan hormat padaku perilakunya tidak membuatku senang sama sekali setiap kali aku melihatnya hormat padaku pikiranku kacau. Pikiranku menggambarkan wajahnya menertawaiku walauku tau dia tidak tertawa saat hormat padaku.

          Entah apa yang bisa ku banggakan dari tubuh besarku ini. Di dalam tubuh besarku ini tersimpan sejuta kesedihan dan rasa sakit yang bahkan mampu membuat air mataku tidak bisa keluar lagi. Terbiasa dengan rasa sakit aneh bukan? Di umurku yang sudah berkepala dua aku hanya bisa berharap berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian... Ku singkirkan semua ego dan ku terima semua rasa sakit.

         Ultraman belum menang kalau belum babak belur, Kristal yang ada di dadanya akan berkedip jika hampir kalah, tak lama kemudian keajaibankan datang kekuatan yang besar muncul dari tubuhnya dan membuat monster jahat bukan lagi tandingannya.

        Doa orang teraniyaya lebih mujarap, doa anak yatim lebih mujarap, aku anak yatim dan teraniyaya jangan macem-macem. Tapi semoga saja doaku terkabul. Tolong jangan hilangkan kepercayaanku dan sabarku begitu saja. Kalau tidak bisa kabulkan doaku tolong kabulkan lah doa ibuku karena tangis ibuku hanya untuk meminta yang terbaik untukku.

By : Almando Qashmal Al-khairi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.